Taat dalam Kata dan Tindakan (Matius 21:28-32)
(Oleh: y. lomang, pnt./sesuai daftar bacaan semester II, Masa Raya: Minggu Biasa XVII , GMIT, 1 Oktober 2023)
Renungan Motivasi Kristen:
Begitu banyak hikmah tersembunyi dalam perumpamaan Yesus tentang dua anak dalam Matius 21:28-32. Dalam perjalanan spiritual kita, kita diajak untuk merenungi dan menggali makna yang dalam dari ajaran-Nya. Judul renungan kita hari ini adalah "Taat dalam Kata dan Tindakan," sebuah panggilan untuk hidup sesuai dengan Firman Tuhan, sekaligus mengeksplorasi bagaimana hal ini berkaitan dengan dinamika keluarga sebagai miniatur gereja.
Keluarga: Miniatur Gereja di Dunia
Kata-kata bijak yang menyatakan bahwa "Keluarga adalah miniatur gereja" mengandung kebenaran yang mendalam. Kita tahu bahwa gereja dipanggil untuk menjadi berkat bagi semesta, dan dengan demikian, tugas dan tanggung jawab gereja mencerminkan tugas dan tanggung jawab masing-masing keluarga. Sebagaimana gereja mengajar dan mendidik anggotanya, begitu juga keluarga.
Tatkala kita membayangkan keluarga sebagai miniatur gereja, kita menyadari bahwa setiap individu dalam keluarga memiliki peranannya sendiri, mirip dengan bagaimana setiap anggota gereja berkontribusi sesuai karunia yang diberikan oleh Roh Kudus. Ayah dan ibu, sebagai pemimpin keluarga, dapat diibaratkan sebagai gembala gereja yang bertanggung jawab memimpin dan membimbing anggota keluarga menuju kebenaran.
Ketika keluarga menjalankan tugasnya dengan penuh kasih dan kebijaksanaan, keluarga tersebut tidak hanya menjadi tempat pertumbuhan rohaniah bagi anggotanya tetapi juga menjadi saksi hidup akan kehadiran Allah di tengah-tengah dunia. Keluarga yang taat dalam mengajar dan mendidik anak-anaknya tentang Firman Tuhan tidak hanya membantu mereka memahami kebenaran, tetapi juga menciptakan fondasi yang kokoh untuk iman mereka.
Perumpamaan Dua Anak: Hati yang Taat dan Respons Tanggung Jawab
Perumpamaan Yesus tentang dua karakter anak dalam keluarga memberikan cerminan yang dalam tentang respons yang berbeda terhadap kehendak ayah mereka. Figur anak pertama mencerminkan pemuka agama Yahudi yang merasa mampu melakukan perintah Tuhan, namun akhirnya tidak melakukannya. Mereka terjebak dalam rutinitas keagamaan tetapi kehilangan esensi dari ketaatan sejati.
Dalam kontrast yang tajam, figur anak kedua diwakili oleh para pemungut cukai dan perempuan sundal. Mereka hidup jauh dari ritual agama dan mungkin minim pengetahuan tentang ajaran Tuhan. Namun, yang membedakan mereka adalah keinginan untuk bertobat dan mentaati perintah Tuhan setelah menyadari kekurangan mereka.
Dari sini, kita dapat merenungi bagaimana seringkali kita terperangkap dalam rutinitas keagamaan yang kering dan kehilangan esensi dari ketaatan yang tulus. Sebaliknya, kita juga diajak untuk melihat bahwa bahkan ketika kita mungkin telah menjauh dari jalan Tuhan, masih ada kesempatan untuk bertobat dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Perspektif Baru tentang Relasi Keluarga
Perumpamaan ini memberikan perspektif baru tentang relasi keluarga yang merangkul kedua tipe umat. Di satu sisi, kita memiliki pemimpin agama Yahudi yang seharusnya menjadi teladan rohaniah, tetapi terjebak dalam ketidaktaatan. Di sisi lain, ada para pemungut cukai dan perempuan sundal yang dianggap rendah oleh masyarakat, namun mereka menunjukkan hati yang taat ketika mereka memilih untuk melaksanakan perintah Tuhan.
Hal ini mengajarkan kita bahwa tidak boleh ada diskriminasi di dalam keluarga Allah. Kita tidak dapat menilai seseorang berdasarkan tampilan fisik, jabatan, atau latar belakang mereka. Semua orang, baik pemimpin agama yang terpelajar maupun mereka yang dianggap berdosa, adalah anak-anak Allah. Lebih penting untuk melakukan perintah Allah daripada sekedar mengakuinya dengan kata-kata.
Kesempatan dan Kemampuan yang Sama
Dengan perspektif ini, Tuhan Yesus memberikan pemahaman baru tentang cara pandang keagamaan pada zamannya. Dia menunjukkan bahwa semua orang, tanpa memandang status sosial atau keagamaan, memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk melakukan perintah Allah. Ini mengingatkan kita bahwa tidak ada alasan untuk merasa rendah diri atau merasa bahwa kita tidak layak menjadi berkat bagi orang lain.
Begitu juga dalam keluarga, setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam nilai spiritual. Ketika setiap individu di dalam keluarga menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk menjadi berkat, keluarga tersebut akan menjadi kekuatan yang kuat dalam menyebarkan kasih dan kebenaran Tuhan.
Menggabungkan Miniatur Gereja dengan Ketaatan Sejati
Sebagai kesimpulan dari renungan ini, mari kita merenungkan bagaimana kita dapat menggabungkan konsep keluarga sebagai miniatur gereja dengan ketaatan sejati dalam kata dan tindakan. Sebagaimana gereja dipanggil untuk menjadi terang dan garam di dunia, demikian pula keluarga dipanggil untuk menyinari dunia di sekitarnya.
Pertama-tama, sebagai pemimpin keluarga, mari kita memastikan bahwa kita tidak terjebak dalam rutinitas keagamaan yang kosong, tetapi kita benar-benar hidup dalam ketaatan sejati. Mari kita menjadi teladan rohaniah bagi anggota keluarga, mengajarkan mereka bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan contoh hidup yang konsisten.
Kedua, mari kita membuka peluang untuk pertobatan dan kesempatan baru, sama seperti anak kedua dalam perumpamaan. Jika kita telah menjauh dari kehendak Tuhan, tidak ada yang terlambat untuk kembali kepada-Nya dengan tulus. Keluarga adalah tempat di mana kasih karunia dan pengampunan Tuhan seharusnya tercermin dalam hubungan antaranggota keluarga.
Terakhir, kita diingatkan untuk melihat satu sama lain dengan mata kasih Tuhan, tanpa menghakimi berdasarkan penampilan atau latar belakang. Kita semua adalah bagian dari keluarga Allah, dan masing-masing dari kita memiliki potensi untuk menjadi berkat bagi semesta.
Dengan demikian, mari kita jalani setiap hari dengan ketaatan sejati dalam kata dan tindakan, menghidupi panggilan keluarga sebagai miniatur gereja yang menyatakan kehadiran Tuhan di dunia ini.
Refleksi
Dalam mengakhiri refleksi ini, mari kita merenungkan betapa pentingnya ketaatan sejati dalam kata dan tindakan, baik di dalam keluarga maupun dalam hidup rohaniah kita. Saat kita mengintegrasikan konsep keluarga sebagai miniatur gereja dengan tekad untuk hidup dalam ketaatan sejati, kita tidak hanya menciptakan fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan rohaniah keluarga kita tetapi juga menjadi salinan hidup dari Firman Tuhan di tengah dunia yang penuh kegelapan. Seperti yang dikatakan dalam 1 Samuel 15:22 :
"Tetapi jawab Samuel: ”Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan."
Ketika ketaatan kita melebihi sekadar tindakan ritualis, dan kita mendengarkan dan mengikuti kehendak Tuhan dengan sepenuh hati, itulah saat kita menjadi terang yang memancarkan kebenaran dan kasih-Nya kepada dunia di sekitar kita.